Editor: Ummu Sofiyyah Raja Nur Hidayah
Untuk kesempatan kali ini kita spesial akan membahas wanita. Siapakah yang layak menjadi wanita idaman? Bagaimanakah kriterianya? Ini sangat perlu sebelum melangkah ke alam pernikahan, sehingga si jejaka tidak salah dalam memilih. Begitu juga kriteria ini dimaksudkan agar si wanita boleh selalu memuhasabah diri. Semoga bermanfaat.
Kriteria Pertama: Memiliki Agama yang Bagus
Inilah yang harus jadi kriteria pertama sebelum kriteria-kriteria lainnya. Tentu saja wanita idaman memiliki aqidah yang bagus, bukannya malah aqidah yang salah jalan. Seorang wanita yang baik agamanya tentu saja tidak suka membaca ramalan-ramalan bintang seperti zodiak dan shio. Kerana ini tentu saja menunjukkan rosaknya aqidah wanita tersebut. Membaca ramalan bintang sama halnya dengan mendatangi tukang ramal. Bahkan ini lebih parah dikeranakan tukang ramal sendiri yang datang ke rumahnya dan dia bawa melalui majalah yang memuat berbagai ramalan bintang setiap minggu atau setiap bulannya. Jika cuma sekadar membaca ramalan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, lalu dia bertanyakan mengenai sesuatu, maka solatnya tidak diterima selama 40 malam.”[1]
Jika sampai membenarkan ramalan tersebut, lebih parah lagi akibatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu dia membenarkan apa yang mereka katakan, maka ia telah kufur pada Al Qur’an yang diturunkan pada Muhammad.”[2]
Begitu pula ia faham tentang hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan dirinya dan juga untuk mengurusi keluarga nantinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan seorang jejaka untuk memilih perempuan yang baik agamanya. Beliau bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Perempuan itu dinikahi kerana empat faktor iaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, nescaya engkau akan menjadi orang yang merana”.[3]
Perhatikanlah kisah berikut yang menunjukkan keberuntungan seseorang yang memilih wanita kerana agamanya.
Yahya bin Yahya an Naisaburi mengatakan bahawa beliau berada di dekat Sufyan bin Uyainah ketika ada seorang yang menemui Ibnu Uyainah lantas berkata, “Wahai Abu Muhammad, aku datang ke sini dengan tujuan mengadukan fulanah -iaitu istrinya sendiri-. Aku adalah orang yang hina di hadapannya”.
Beberapa saat lamanya, Ibnu Uyainah menundukkan kepalanya. Ketika beliau telah menegakkan kepalanya, beliau berkata, “Mungkin, dulu engkau menikahinya kerana ingin meningkatkan martabat dan kehormatan?”. “Benar, wahai Abu Muhammad”, tegas orang tersebut. Ibnu Uyainah berkata,
مَنْ ذَهَبَ إِلىَ العِزِّ اُبْتُلِيَ بِالذَّلِّ وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى الماَلِ اُبْتُلِيَ بِالفَقْرِ وَمَنْ ذَهَبَ إِلىَ الدِّيْنِ يَجْمَعُ اللهُ لَهُ العِزَّ وَالماَلَ مَعَ الدِّيْنِ
“Siapa yang menikah kerana menginginkan kehormatan maka dia akan hina. Siapa yang menikah kerana mencari harta maka dia akan menjadi miskin. Namun siapa yang menikah kerana agamanya maka akan Allah kumpulkan untuknya harta dan kehormatan di samping agama”.
Kemudian beliau mulai bercerita, “Kami adalah empat laki-laki bersaudara, Muhammad, Imron, Ibrahim dan aku sendiri. Muhammad adalah abang yang paling sulung sedangkan Imron adalah bongsu. Sedangkan aku adalah tengah-tengah. Ketika Muhammad hendak menikah, dia berorientasi pada kehormatan. Dia menikah dengan perempuan yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada dirinya. Pada akhirnya dia jadi orang yang hina. Sedangkan Imron ketika menikah berorientasi pada harta. Kerananya dia menikah dengan perempuan yang hartanya lebih banyak dibandingkan dirinya. Ternyata, pada akhirnya dia menjadi orang miskin. Keluarga isterinya merebut semua harta yang dia miliki tanpa menyisakan untuknya sedikitpun. Maka aku ingin tahu, ingin menyelidiki sebab terjadinya dua hal ini.
Tak disangka suatu hari Ma’mar bin Rasyid datang. Kau lantas bermusyawarah dengannya. Kuceritakan kepadanya kisah yang dialami oleh kedua saudaraku. Ma’mar lantas menyampaikan hadits dari Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah. Hadits dari Yahya bin ja’dah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” [HR al-Bukhari dan Muslim]. Sedangkan hadits dari Aisyah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perempuan yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan biaya pernikahannya.” [HR Ahmad no 25162, menurut Syeikh Syu’aib al Arnauth, sanadnya lemah].
Oleh karena itu kuputuskan untuk menikah kerana faktor agama dan agar beban lebih ringan kerana ingin mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di luar dugaan Allah kumpulkan untukku kehormatan dan harta di samping agama.[4]
Inilah kriteria wanita idaman yang patut diperhatikan pertama kali –iaitu baiknya agama- sebelum kriteria lainnya, sebelum kecantikan, martabat dan harta.
Kriteria Kedua: Selalu Menjaga Aurat
Kriteria ini pun harus ada dan jadi pilihan. Namun sayangnya sebahagian jejaka malah menginginkan wanita yang membuka aurat dan seksi. Benarlah, laki-laki yang jelek memang menginginkan wanita yang jelek pula.
Ingatlah, sangat bahaya jika seorang wanita yang berpakaian namun telanjang dijadikan pilihan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki jambul seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggang-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[5] Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang dalam hadits ini adalah:
- Wanita yang menyingkap sebahagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
- Wanita yang memakai pakaian nipis sehingga nampak bahagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang.[6]
Sedangkan aurat wanita yang wajib ditutupi adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang beriman: "Hendaklah mereka melabuhkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kerana itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. al-Ahzab (33): 59].
Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” [QS. an-Nur (24): 31].
Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul ad-Dimasqiy bahawa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.[7]
Kriteria Ketiga: Berpakaian dengan Memenuhi Syarat Pakaian yang Syar’i
Wanita yang menjadi idaman juga sepatutnya memenuhi beberapa kriteria berbusana berikut ini yang kami sarikan dari berbagai dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
Syarat pertama: Menutupi seluruh tubuh (termasuk kaki) kecuali wajah dan telapak tangan.
Syarat kedua: Bukan memakai pakaian untuk berhias diri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” [QS. al-Ahzab (33): 33].
Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az-Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[8]
Syarat ketiga: Longgar, tidak ketat dan tidak nipis sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.
Syarat keempat: Tidak diberi wewangian atau parfum. Dari Abu Musa al-Asy’ary bahawanya dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Seorang perempuan yang mengenakan wangi-wangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.”[9]
Dari Yahya bin Ja’dah, “Di masa pemerintahan Umar bin Khattab ada seorang perempuan yang keluar rumah dengan memakai wewangian. Di tengah jalan, Umar mencium bau harum dari perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan tongkat. Setelah itu beliau berkata,
تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم اخرجن تفلات
“Kalian, para perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para laki-laki mencium bau harum kalian?! Sesungguhnya hati laki-laki itu ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari rumah dengan tidak memakai wewangian”[10].
Dari Ibrahim, Umar (bin Khattab) memeriksa saf solat jamaah perempuan lalu beliau mencium bau harum dari kepala seorang perempuan. Beliau lantas berkata,
لو أعلم أيتكن هي لفعلت ولفعلت لتطيب إحداكن لزوجها فإذا خرجت لبست أطمار وليدتها
“Seandainya aku tahu siapa di antara kalian yang memakai wewangian nescaya aku akan melakukan tindakan demikian dan demikian. Hendaklah kalian memakai wewangian untuk suaminya. Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek yang biasa dipakai oleh budak perempuan”. Ibrahim mengatakan, “Aku mendapatkan khabar bahawa perempuan yang memakai wewangian itu sampai ngompol kerana takut (dengan Umar)”[11].
Syarat kelima: Tidak menyerupai pakaian lelaki atau pakaian non muslim.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ
“Rasulullah melaknat kaum lelaki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum lelaki.”[12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk sebahagian dari mereka”.[13]
Inilah di antara beberapa syarat pakaian wanita yang harus dipenuhi. Inilah wanita yang layak dijadikan kriteria.
Kriteria keempat: Betah Tinggal di Rumah
Di antara yang diteladankan oleh para wanita salaf yang solahah adalah mahu berada di rumah dan bersungguh-sungguh menghindari lelaki serta tidak keluar rumah kecuali ada keperluan yang mendesak. Hal ini dengan tujuan untuk menyelamatkan masyarakat dari godaan wanita yang merupakan godaan terbesar bagi laki-laki.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandanan ala jahiliah terdahulu” (QS Al Ahzab: 33).
Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Hendaklah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar rumah kecuali kerana ada kebutuhan”.[14]
Disebutkan bahawa ada orang yang bertanya kepada Saudah -isteri Rasulullah-, “Mengapa engkau tidak berhaji dan berumrah sebagaimana yang dilakukan oleh saudari-saudarimu (iaitu para isteri Nabi yang lain, pent)?” Jawapan beliau, “Aku sudah pernah berhaji dan berumrah, sedangkan Allah memerintahkan aku untuk tinggal di dalam rumah”. Perawi mengatakan, “Demi Allah, beliau tidak pernah keluar dari pintu rumahnya kecuali ketika jenazahnya dikeluarkan untuk dimakamkan”. Sungguh moga Allah redha kepadanya.
Ibnul ‘Arabi bercerita, “Aku sudah pernah memasuki lebih dari seribu perkampungan namun aku tidak menjumpai perempuan yang lebih terhormat dan terjaga melebihi perempuan di daerah Napolis, Palestin, tempat Nabi Ibrahim dilempar ke dalam api. Selama aku tinggal di sana aku tidak pernah melihat perempuan di jalan saat siang hari kecuali pada hari Jumaat. Pada hari itu para perempuan pergi ke masjid untuk ikut solat Jumat sampai masjid penuh dengan para perempuan. Begitu solat Jumat berakhir mereka segera pulang ke rumah mereka masing-masing dan aku tidak melihat satupun perempuan hingga hari Jumaat berikutnya”.[15]
Dari Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ عَوْرَةٌ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ فَتَقُولُ: مَا رَآنِي أَحَدٌ إِلا أَعْجَبْتُهُ، وَأَقْرَبُ مَا تَكُونُ إِلَى اللَّهِ إِذَا كَانَتْ فِي قَعْرِ بَيْتِهَا"
“Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka syaitan akan menghiasinya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan wajah Allah adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”.[16]
Kriteria Kelima: Memiliki Sifat Malu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Rasa malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.”[17]
Kriteria ini juga semestinya ada pada wanita idaman. Contohnya adalah ketika bergaul dengan lelaki. Wanita yang baik seharusnya memiliki sifat malu yang sangat. Cubalah perhatikan contoh yang bagus dari wanita di zaman Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (24)
“Dan tatkala dia sampai di sumber air negeri Mad-yan dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternakannya), dan dia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternakannya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternakan kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternakannya), sedang bapakkami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya". Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.” [QS. Qashash (28): 23-24].
Lihatlah bagaimana bagusnya sifat kedua orang wanita ini, mereka malu berdesak-desakan dengan kaum lelaki untuk memberi minum ternakannya. Namun cuba bayangkan dengan wanita di zaman sekarang ini!
Tidak cukup sampai di situ kebagusan akhlaq kedua wanita tersebut. Lihatlah bagaimana sifat mereka tatkala datang untuk memanggil Musa 'alaihis salaam; Allah melanjutkan firman-Nya,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan penuh rasa malu, dia berkata, 'Sesungguhnya bapaku memanggil kamu agar dia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternakan) kami'." [QS. Al Qashash (28): 25]
Ayat yang mulia ini,menjelaskan bagaimana seharusnya kaum wanita berakhlak dan bersifat malu. Allah menyifati gadis wanita yang mulia ini dengan cara jalannya yang penuh dengan rasa malu dan terhormat.
Amirul Mukminin Umar bin Khoththob rodiyallohu 'anhu mengatakan, "Gadis itu menemui Musa 'alaihis salaam dengan pakaian yang tertutup rapat, menutupi wajahnya." Sanad riwayat ini shahih.[18]
Kisah ini menunjukkan bahawa seharusnya wanita selalu memiliki sifat malu ketika bergaul dengan lawan jenis, ketika berbicara dengan mereka dan ketika berpakaian.
Demikianlah kriteria wanita yang semestinya jadi idaman. Namun kriteria ini baru sebahagian saja. Akan tetapi, kriteria ini semestinya yang dijadikan prioriti.
Intinya, jika seorang jejaka ingin mendapatkan wanita idaman, itu semua kembali pada dirinya. Ingatlah: ”Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik”. Jadi, hendaklah seorang jejaka mengkoreksi diri pula, sudahkah dia menjadi jejaka idaman, nescaya wanita yang dia idam-idamkan di atas insyaAllah menjadi pendampingnya. Inilah kaedah umum yang mesti diperhatikan.
Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu mendapatkan keberkahan dalam hidup ini.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Baca pula artikel "Bukan Pria Idaman".
Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan -berkat nikmat Allah- di Pangukan-Sleman, 14 Safar 1431 H
[1] HR. Muslim no. 2230, dari Sofiyyah, dari sebahagian isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2] HR. Ahmad (2/492). Syaikh Syu’aib al-Arnauth mengatakan bahawa hadits ini hasan.
[3] HR. al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1446, dari Abu Hurairah.
[4] Tahdzib al Kamal, 11/194-195, asy-Syamilah.
[5] HR. Muslim no. 2128, dari Abu Hurairah.
[6] al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 17/190-191, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua.
[7] Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14.
[8] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 5/133, Mawqi’ al-Islam.
[9] HR. al-Nasa’i, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh al-Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahawa hadits ini shahih.
[10] HR Abdurrazaq dalam al-Musonnaf no 8107.
[11] Riwayat Abdur Razaq no 8118.
[12] HR. al-Bukhari no. 6834.
[13] HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahawa sanad hadits ini jayid/bagus.
[14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/150.
[15] Tafsir al-Qurthubi ketika menjelaskan al Ahzab:33.
[16] HR Ibnu Khuzaimah no. 1685. Syaikh al-Albani mengatakan bahawa sanad hadits ini shahih.
[17] HR. al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.
[18] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/451.
Catat Ulasan